
“Duhai Ayah – Ibu, Bantu Aku Menjadi Penghuni Surga” (Renungan sebagai Orang Tua)
Setiap kita mungkin sudah akrab sekali dengan hadits berikut ini,
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi “ (HR Bukhari)
Sebagian kita bahkan mungkin hafal. Hadits ini cukup masyhur, sering disitir para da’i terlebih lagi saat perayaan aqiqah kelahiran seorang anak.
Tentu jika dikaitkan dengan hadits di atas, mengurus dan membina agamanya sangat-sangat penting. Sedemikian penting amanah ini para Nabi berdoa untuk keselamatan anak-anak generasi penerus mereka agar selalu taat kepada perintah Allah. Nabi Ibrahim Saw, berdoa,
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Albaqarah 128)
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (QS Ibrahim 35)
Hal serupa juga dilakukan Nabi Ya’qub demi memastikan ketaatan anak-anaknya kepada Allah SWT.
Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (QS Albaqarah 133)
Demikian pula Nabi Zakaria saw, berdoa,
Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku* sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai”. (QS Maryam 5-6)
* Yang dimaksud oleh Zakaria dengan mawali ialah orang-orang yang akan mengendalikan dan melanjutkan urusannya sepeninggalnya.Yang dikhawatirkan Zakaria ialah kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik, karena tidak seorangpun di antara mereka yang dapat dipercayainya, oleh sebab itu dia meminta dianugerahi seorang anak.
Adalah ketetapan Allah SWT bahwa kita diamanahi anak-anak namun bukan jaminan bahwa kelak kita akan berhasil membesarkannya sesuai harapan dan bukan jaminan pula putra-putri kita menjadi washilah (penghantar) bagi kita menuju keridlaan Allah dan surgaNya. Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Attaghaabun: 14).
Sungguh, anak yang yang baru lahir adalah suci (fitrah). “Masa depan” agamanya kelak ada di tangan kedua orang tuanya.
Jika demikian, apakah yang sudah dilakukan oleh orangtua untuk anaknya? Adakah keinginan untuk menyenangkan anak cukup dengan mengikuti dan memenuhi segala kesenangan anak, tanpa memedulikan keselamatan agamanya? Apakah kita lebih memanjakannya daripada mendidiknya dengan keimanan, ketaatan kepada syariat, dan akhlaq yang sebenarnya lebih penting di kehidupannya kelak? Tidakkah seorang ayah/ibu menyadari bahwa orangtua menjadi sebab agama yang dianut anaknya? Sudahkah seorang ayah/ibu mengupayakan sesuatu yang dapat menjadi sebab untuk menguatkan sang anak agar ia hidup dan meninggal tetap berada di atas fitrahnya?
Jikalau mereka, putra-putri kita, mengerti bagaimana keadaan surga dan neraka serta boleh berkomunikasi, tentu mereka akan berkata, “Duhai orang tuaku, jadikan aku penghuni surga!”. Tentu —dengan besarnya rasa kasih kita kepada mereka— kita tak rela jika mereka berada di neraka. Lantas apa yang sudah kita lakukan?
RENUNGKAN LAH....!!!
Setiap kita mungkin sudah akrab sekali dengan hadits berikut ini,
“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi “ (HR Bukhari)
Sebagian kita bahkan mungkin hafal. Hadits ini cukup masyhur, sering disitir para da’i terlebih lagi saat perayaan aqiqah kelahiran seorang anak.
Tentu jika dikaitkan dengan hadits di atas, mengurus dan membina agamanya sangat-sangat penting. Sedemikian penting amanah ini para Nabi berdoa untuk keselamatan anak-anak generasi penerus mereka agar selalu taat kepada perintah Allah. Nabi Ibrahim Saw, berdoa,
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS Albaqarah 128)
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala. (QS Ibrahim 35)
Hal serupa juga dilakukan Nabi Ya’qub demi memastikan ketaatan anak-anaknya kepada Allah SWT.
Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”. (QS Albaqarah 133)
Demikian pula Nabi Zakaria saw, berdoa,
Dan sesungguhnya aku khawatir terhadap mawaliku* sepeninggalku, sedang isteriku adalah seorang yang mandul, maka anugerahilah aku dari sisi Engkau seorang putera, yang akan mewarisi aku dan mewarisi sebahagian keluarga Ya’qub; dan jadikanlah ia, ya Tuhanku, seorang yang diridhai”. (QS Maryam 5-6)
* Yang dimaksud oleh Zakaria dengan mawali ialah orang-orang yang akan mengendalikan dan melanjutkan urusannya sepeninggalnya.Yang dikhawatirkan Zakaria ialah kalau mereka tidak dapat melaksanakan urusan itu dengan baik, karena tidak seorangpun di antara mereka yang dapat dipercayainya, oleh sebab itu dia meminta dianugerahi seorang anak.
Adalah ketetapan Allah SWT bahwa kita diamanahi anak-anak namun bukan jaminan bahwa kelak kita akan berhasil membesarkannya sesuai harapan dan bukan jaminan pula putra-putri kita menjadi washilah (penghantar) bagi kita menuju keridlaan Allah dan surgaNya. Allah SWT telah memperingatkan kita dalam firman-Nya,
“Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Attaghaabun: 14).
Sungguh, anak yang yang baru lahir adalah suci (fitrah). “Masa depan” agamanya kelak ada di tangan kedua orang tuanya.
Jika demikian, apakah yang sudah dilakukan oleh orangtua untuk anaknya? Adakah keinginan untuk menyenangkan anak cukup dengan mengikuti dan memenuhi segala kesenangan anak, tanpa memedulikan keselamatan agamanya? Apakah kita lebih memanjakannya daripada mendidiknya dengan keimanan, ketaatan kepada syariat, dan akhlaq yang sebenarnya lebih penting di kehidupannya kelak? Tidakkah seorang ayah/ibu menyadari bahwa orangtua menjadi sebab agama yang dianut anaknya? Sudahkah seorang ayah/ibu mengupayakan sesuatu yang dapat menjadi sebab untuk menguatkan sang anak agar ia hidup dan meninggal tetap berada di atas fitrahnya?
Jikalau mereka, putra-putri kita, mengerti bagaimana keadaan surga dan neraka serta boleh berkomunikasi, tentu mereka akan berkata, “Duhai orang tuaku, jadikan aku penghuni surga!”. Tentu —dengan besarnya rasa kasih kita kepada mereka— kita tak rela jika mereka berada di neraka. Lantas apa yang sudah kita lakukan?
RENUNGKAN LAH....!!!
No comments:
Post a Comment